Juli 2012 | Pecinta Alam PANCAPALA
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
id line : Yustinus.aditya WA : 082226174704
RSS

Gua Maria Fatima Sendang Klayu

TerimaKasih buat teman-teman PECINTA ALAM PANCAPALA  yg sudah meluangkan waktunya untuk kegiatan Baksos beberapa waktu lalu di sendang Kelayu ...terima kasih banyak atas partisipasinya ,.,.
saya sedikit berbagi kepada kalian semu ,sepenggal cerita dari Tokoh Agama  Bp.. Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang,semoga kalian menikmatinya,,,Terima Kasih..
Gua Maria Fatima Sendang Klayu, Jlegong
Paroki Yohanes Rasul Wonogiri



Maria Fatima Sendang Klayu

Rabu, 11 Juli 2012, paroki Yohanes Rasul Wonogiri merayakan ulang tahun yang ke 45 sejak dimekarkan dari paroki Baturetno. Dalam rangka itulah saya diundang untuk bersyukur bersama atas peristiwa yang bersejarah tersebut.

Senin, 9 Juli 2012, seusai perayaan Ekaristi syukur peringatan 13 tahun imamat Rama FX. Sugiyana dkk, malam hari kami meluncur ke Wonogiri. Dalam perjalanan malam itu saya ingat peristiwa 4 tahun yang lalu, 9 Juli 2008, saya diantar oleh  wakil umat Keuskupan Agung Semarang mengadakan perjalanan malam juga dari Semarang menuju Bandung, Jawa Barat. Perjalanan malam itu suatu perjalanan mengikuti perintah Tuhan, “Bertolaklah ke tempat yang dalam” (Lk. 5: 4).

Setelah perjalanan dua setengah jam kira-kira kami sampai di gereja Yohanes Rasul Wonogiri. Beberapa wakil umat dan rama-rama duduk-duduk di depan gereja, menantikan kedatangan kami. Setelah berbincang sejenak melepaskan lelah, kami undur diri untuk istirahat malam itu, agar keesokan harinya dapat bangun dengan segar melaksanakan rencana yang telah disiapakan oleh Panitia.

Selasa, 10 Juli 2012, jam 08.00 kami meninggalkan pastoran untuk memulai kunjungan pastoral ke Timur Jauh, suatu rayon di wilayah paroki Wonogiri, yang direncanakan menjadi embrio stasi paroki Wonogiri di masa depan. Dalam perjalanan itu saya diantar singgah di Jlegong, suatu wilayah yang pernah saya kunjungi 4 tahun yang lalu. Di situlah terletak tempat ziarah Gua Maria Fatima Klayu. Perjalanan 4 tahun yang lalu saya lakukan dalam rangka asistensi Minggu Paska itu saya beri judul “JALAN SALIB KEHIDUPAN"!

4 tahun yang lalu tentang Gua Maria Sendang Klayu, saya tulis suatu narasi sbb.

Minggu, 23 Maret 2008

Pagi ini setelah doa ibadat pagi  saya bersiap-siap untuk merayakan Paskah bersama umat di stasi Jlegong.

06.45 Bp. Sri dan Bp. Pardiyo mengantar saya dan Fr. Bambang ke Jlegong. Kami menjemput Sr. Yanti, SRM (yang besar maupun yang kecil) dengan adiknya yang ingin ikut juga ke Jlegong. Maksud kami hendak menempuh jalan lebih pendek melalui jembatan Kedung Kidang melintasi kali Keduwang, namun sampai di dekat jembatan, jembatan itu ambrol karena banjir tanggal 26 Desember 2007 yang lalu. Karena itu, kami membalik  arah, untuk menempuh jalan panjang menuju Jlegong. Biasanya untuk jarak 32 km Wonogiri – Jlegong dibutuhkan waktu 1 jam saja berkendaraan mobill, tetapi karena jalan panjang kami baru tiba di tempat jam 08.00 saat perayaan Ekaristi Paska dimulai.

Jlegong suatu ceruk antara bukit Watulumbung dan Gunung Gondel. Awal mula tumbuhnya umat di daerah itu terjadi pada tahun 1967. Para perintis umat di daerah itu masih ingat betul swargi Rm. Soetapranitra, SJ (Sandal Jepit) yang setia mengunjungi umat perdana di daerah tersebut. Dengan jubah kelabu dan bersandal jepit Rama yang sederhana ini menyapa umat dengan penuh kasih. Bila Rama berkunjung ia hanya berpesan agar direbuskan ketela pohon, hasil utama tanah berbatu kapur tersebut. Ada sendang yang disebut sendang Klayu. Tempat tersebut semula angker, banyak penduduk menjadi korban gangguan Iblis, menurut tutur kata orang setempat. Katanya, ada seorang menebang pohon yang tumbuh di tempat itu lalu mulutnya mencong. Rm. Soeta berhasil mengusir Iblis yang bercokol di tempat tersebut, bahkan kemudian air sendang Klayu digunakan oleh Rama untuk membaptis orang-orang Katolik perdana di daerah tersebut. Berjumlah belasan orang. Di antara mereka itu adalah Bp. Agustinus Sukarman yang hadir pada perayaan Paskah tahun 2008 ini. Sejak peristiwa pembaptisan tempat tersebut dijadikan tempat doa, yang dilengkapi dengan patung Maria Fatima Sendang Klayu.

Saya bersyukur setelah upacara pembaruan baptis ada dua orang siap dibaptis di kapel Santo Thomas Jlegong. Mereka itu adalah: 1. Fransiska Asisi Megawati Sutarmo Putri, dengan emban baptis ibu Lucia Martini, 2. Cyrilus Fredi Slamet Prihatin, dengan emban baptis Bp. Stephanus Darmosuwito. Saya meminta dengan sungguh-sungguh agar baptisan baru tersebut dicatat dalam Buku Baptis (Liber Baptizmorum) di kantor Sekretariat Paroki Santo Yohanes Rasul Wonogiri. Keteledoran dalam hal ini bisa merugikan umat. Itulah yang kadang kami temui bila kami mengadakan supervisi di parok-paroki.

Setelah misa kami diajak mampir ke rumah pamong umat untuk santap siang. Kemudian, kami berkunjung ke gua Maria Fatima Sendang Klayu. Menuju ke gua jalan tidak mudah. Jalan sangat menanjak mengantar kami sampai di depan gua Maria. Ukurannya kecil saja. Di hadapan Maria kami berdoa ”Salam Maria”, mohon dapat meneladan kesetiaannya mengikuti Tuhan Yesus, puteranya, sampai di puncak Golgota.



Gotongroyong masyarakat

Kira-kira 4 tahun kemudian setelah tuturan narasi tersebut, 10 Juli 2012, ketika pagi itu kami datang di rumah umat kami disambut wajah-wajah berseri, umat Katolik setempat yang pada hari itu mengadakan gotongroyong membangun Gua Maria Fatima Sendang Klayu. Mereka mengangkut pasir dari bawah ke atas untuk bahan bangunan sarana jalan menuju gua Maria. Melalui tangga  beton menanjak kami berjalan menuju gua.

Tekad umat untuk membangun kembali gua Maria Fatima Sendang Kelayu sebenarnya terhalang oleh berbagai keterbatasan. Yang terutama dirasakan ialah penyediaan air untuk membangun. Konon, di bawah pohon klayu yang berdekatan dengan pohon sono terdapat mataair. Namun sudah beberapa tahun terakhir ini rembesan air pun tidak tampak. Keprihatinan yang didoakan kepada Tuhan ternyata mendapat perhatian-Nya. Mulai bulan Agustus 2011 air mulai mengalir di tempat itu, tak kunjung henti. Umat meyakini peristiwa itu adalah mukjizat.

Siang itu kami mengadakan perjumpaan dengan umat setempat, kesempatan untuk berbagi pengalaman iman yang berkaitan dengan Gua Maria Fatima Sendang Klayu.

Dituturkan bahwa ada rencana mengganti patung Maria yang berukuran kecil dengan patung dengan ukuran lebih besar.  Masalahnya, bagaimana mengangkut patung dengan berat sekitar 3 ton dengan jalan menanjak  seperti itu.  Masalah tersebut mendapat solusi karena ada seorang pematung yang bersedia membuat patung di tempat. Pembangunan kembali gua itu dimulai dengan upacara misa pada tanggal 8 September 2011. Gotongroyong masyarakat dan kebaikan dari berbagai pihak saling meneguhkan untuk melaksanakan pembangunan. Setelah sebagian patung selesai, diadakan acara memindah patung kecil ke dalam patung besar pada tanggal 13 Mei 2012. Akhirnya patung seluruhnya selesai beberapa hari menjelang kehadiran kami pada 10 Juli 2012.

Pada perjumpaan itu Bp. Antonius Rocharjanto, selaku Ketua Panitia Pembangunan, menceritakan pengalaman imannya ketika merenungkan sejarah keberadaan tempat doa tersebut, bagaimana bunda Maria mendampingi perjalanan rohani umat; diantar oleh Maria umat diarahkan untuk mengenal dan mencintai Tuhan Yesus. Pengalaman iman itu kemudian dituangkan dan syair dan lagu yang diciptakannya.

Gua Maria Fatima Sendang Klayu sebagai tempat ziarah masih perlu dilengkapi dengan berbagai sarana yang memadai. Itulah yang sedang dilakukan oleh umat bersama seluruh masyarakat sekarang ini. Kesediaan berbagi dari siapa pun tentu membuat seluruh masyarakat giat bergotongroyong menyelesaikan pembangunan tersebut. “Sithik ora ditampik, akeh tansaya pekoleh” tentu akan membesarkan hati siapa pun yang mengasihi Maria, bunda Allah dan bunda Gereja.  Anda sedia berbagi, silakan!


Marilah kita ikut ambil bagian mewujudkan mimpi umat Jlegong untuk memiliki tempat ziarah, yang dapat menjadi sarana bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan; dan dengan demikian menjadi berkah bagi masyarakat .

Salam, doa ‘n Berkah Dalem,

Muntilan, 12 Juli 2012

+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SOE HOK GIE dan Gunung Semeru

SOE HOK GIE: Kenangan Kepada Seorang Demonstran
Enam belas Desember 30 tahun lalu, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak Gunung Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.
“Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru. Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim penghujan Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan,” kata Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.
Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. “Kita juga akan berdoa, sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu,” lanjutnya.
Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan malah baru 20 tahun. “Tanpa terasa Soe sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru … perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu,” begitu bunyi naskah buku kecil acara “Mengenang Seorang Demonstran”, (berisikan antara lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang bakal diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.
Kasih Batu dan Cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru.
Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya Gunung Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.
Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.
Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan‘ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Mengapa Naik Gunung
Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.
Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”
Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” Tanyanya.
Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.
Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan “falsafahnya”, kala mengajak seseorang mendaki gunung. “Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini,” kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.
Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.
Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik 18-12-69.
Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan Idhan … kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing. Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Monyet Tua Yang Dikurung
Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: “… Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ….”
Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”, memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata “sakti” filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang … makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan … Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.” (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: “Ah, Mama tidak mengerti”.
Arief pun menulis kenangannya lagi: … di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik … dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan … saya terbangun dari lamunan … saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, “Gie kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.
Mimpi seorang Mahasiswa Tua
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie – A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.
Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus:
…Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih … kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.
Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut:
… Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan …. Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan … bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.
Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis,
… Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!
Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini:
Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama – buruh – dan pemuda, bangkit dan berkata – stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-Mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan:
… Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.
Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.
Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis:
… Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.
Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki “politisi berkartu mahasiswa”. Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.
Berpolitik Cuma Sementara
John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini,
“Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas.”
Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun … namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental “asal bapak senang”, serta “yes men”, atau sudah pasrah.
Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa.”
Demikian tulis Maxwell.
Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.
Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.
Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya “Pesan” dan cukilan pentingnya berbunyi:
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi.
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Suara Petualang

"Jika Pohon Terakhir sudah ditebang,
Sungai Terakhir Sudah Tercemar,
dan Ikan Terakhir sudah ditangkap,
Maka Manusia akan sadar...
UANG TIDAK DAPAT DIMAKAN"

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pecinta Alam

Pecinta Alam
Pendaki gunung, sahabat alam sejati
Jaketmu penuh lambang, lambang kegagahan
memploklamirkan dirimu pecinta alam
sementara maknanya belum kau miliki

Ketika aku daki dari gunung ke gunung
Disana ku temui kejanggalan makna
Banyak pepohonan merintih kepedihan
Dikuliti pisaumu yang tak pernah diam

Batu batu cadas merintih kesakitan
ditikam belatimu yang bermata ayal
hanya untuk mengumumkan pada khalayak
bahwa disana ada kibar bendera mu

Oh alam, korban keangkuhan
Maafkan mereka yang tak mengerti arti kehidupan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Arti seorang PECINTA ALAM

apakah dari pembaca ada yang mengerti arti dari Pecinta Alam yg sebenarnya...
..yapsss
Pecinta Alam di ambil dari 2 suku kata yaitu .PECINTA=Mencintai  .Alam=alam/lingkungan/ Bumi..
jadi mnurut saya Seorang  Pecinta Alam adalah seseorang yang Mencintai dan merawat alam/Bumi ini,,,
Bukan sekedar menikmati,,tapi kita juga di wajibkan untuk merawat dan melestarikannya,,.Seorang Pecinta alam tak harus mendaki Gunung yang tinggi untuk membuktikannya,,tidak hanya dengan berkata/ataupun memerintah,,Untuk apa kita di panggil Pecinta Alam jika kita hanya mondar-mandir sana sini,,ndaki gunung sana-sini,,,itu sama sekali bukanlah Pecinta Alam sejati,,.di sekitar kita pun banyak lingkungan yang tak terawat.,bahkan mungkin ada yang rusak karena tangan-tangan manusia tak bertanggung jawab ,,dan sebagai Pecinta Alam kita sudah seharusnya untuk merawat  dan memperbaikinya,.tidak harus di mulai dari yang tinggi ,,,!kita mulai saja dari hal yg paling rendah/sepele,,kita bersihkan alam sekitar kita ,kita perbaiki alam sekitar kita,.yang dulunya membuang smph smbarangan kita buang samph pd tempatnya ,,yah setidaknya satu MOTTO dari saya,"jika kalian tak mau membersihkannya  ,Setidaknya kalian tak mengotorinya" ..Jadilah Pecinta Alam yg sesungguhnya tidak hanya sekedar Pecinta Alam yg memamerkan KEPECINTA ALAMannya kpd orng lain,,.Pecinta ALam PANCAPALA benar" mendidik saya dengan sangat baik,,..Banggalah Dengan apa yang kamu punyai ,karena itulah harta berharga dalam diriMU..



ttd :Yustinus Aditya ,kakak ke 8 PA PANCAPALA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS